Catatan Sinau Bareng Raker Kemendag RI, Hotel Borobudur Jakarta 22 Februari 2017

Jangan Rakus dan Serakah, Jangan Pula Mengalahkan yang Lain


Semalam, bertempat di Ballroom Hotel Borobudur Jakarta yang terletak di Jalan Lapangan Banteng Selatan di kawasan beberapa kantor Kementerian, KiaiKanjeng menutup rangkaian Rapat Kerja Kementerian Perdagangan RI 2017 yang diselenggarakan pada 21-22 Februari 2017. Bagaimana ceritanya? Sedang selama ini KiaiKanjeng lebih banyak bergerak di bawah bersama masyarakat.
Jawabannya terpancar pada wajah dan tutur kata Menteri Perdagangan Enggartyasto Lukito sendiri. Dengan ekpresi senang dan bangga, Pak Enggar–sapaan akrab Beliau–menyampaikan kepada para peserta Raker bahwa sengaja Cak Nun Ia undang agar berkenan memberikan tausiyah dan kritik-kritik kepada seluruh jajaran Kemendag dan pemangku kepentingan di bidang perdagangan.

Ini pun ada ceritanya. Pak Enggar yang menuturkan sudah sangat lama bersahabat dengan Cak Nun ini mengisahkan betapa susahnya mengundang Cak Nun. “Saya telpon Beliau, dan saya minta Beliau mau menyisihkan jadwal-jadwal Beliau supaya mau datang ke Raker kita ini,” katanya.

Kemudian, lebih dalam lagi, Pak Menteri Enggar menceritakan, “Dulu waktu saya masih sebagai ketua REI (Real Estate Indonesia—red), saya pernah mengundang Cak Nun. Dan saya dipanggil Polda karena itu, sebab saat itu Cak Nun sangat keras kritik-kritiknya kepada pemerintah. Terjadi diskusi yang alot, yang intinya kepolisian meminta entah bagaimana caranya agar audiens atau massa yang mendengarkan Cak Nun tidak terpengaruh untuk memberontak negara.” Dan Menteri Enggar muda memastikan tidak akan terjadi apa-apa yang dicemaskan itu, sebab dia tahu kemurnian dan keseimbangan Cak Nun.Enggar muda dipanggil Polda gara-gara mengundang Cak Nun di masa Orde Baru. Foto: Adin.

Suasana ta’dhim dan hormat kepada Cak Nun amat terasa sejak Cak Nun memasuki ruangan saat acara baru dimulai. Cak Nun duduk semeja lingkar dengan Menteri Enggar, Pak Franky Welirang, dan pejabat lain Kemendag. Cak Nun ikut mendengarkan rumusan hasil Raker yang disampaikan Sekjen Kemendag, menyimak sambutan Menteri Enggar, dan menyimak penandatanganan komitmen kerja dari para peserta yang berisikan target-target yang sangat konkret hingga pada angka-angka. Dari paparan Sekjen ini, Cak Nun tak hanya mendengar terobosan-terobosan Kemendag, tapi juga bagaimana perubahan gaya dan kultur kerja di lingkungan Kemendag yang direformasi oleh Menteri Enggar.

Sementara, Pak Enggar sendiri dalam sambutannya itu mengafirmasi dan lebih menjelaskan apa-apa yang berubah di Kemendag. Pengatmosferan budaya inisiatif dan diskusi sampai terbentuknya komitmen di antara para eselon dan peserta raker ini tanpa instruksi dari Menteri, pergeseran dari kultur birokrat menuju kultur korporat, etos melayani tanpa harus merasa jadi pelayan, hingga ketetapan dalam keberpihakan kepada petani, pedagang, nelayan, dan pelaku-pelaku usaha kecil dan menengah.
Bingung Memilih Kostum dan Terlanjur Pancasila

Karena acara ini adalah penutupan Raker lembaga setingkat kementerian, sifat acaranya pun internal tentunya, dan waktu yang tersedia maksimal dua jam. Berbeda dengan Sinau Bareng di alun-alun bersama masyarakat umum atau Maiyahan rutin. Meskipun demikian, Cak Nun mengkomposisi kehadiran KiaiKanjeng, yang tadi malam ditemani pula oleh Ibu Novia Kolopaking, dengan sangat rapi dan terukur. Cak Nun tetap mampu hadir menyampaikan pesan-pedan dengan logika yang cantik, apik, dan halus menelusup.Cak Nun duduk semeja lingkar dengan Menteri Enggar, Pak Franky Welirang. Foto: Adin.

“Saya paham puisi, mengerti kandungan hati petani, dan paham kedalaman filosofi seorang pengayuh becak. Tapi saya benar-benar tak paham perdagangan. Jadi kalau saya harus mengkritik itu pasti saya mengkritik apa yang saya tidak pahami. Untunglah saya tertolong karena Pak Enggar tadi juga meminta saya memberikan tausiyah, dan mohon diketahui tausiyah itu artinya pesan atau wasiat orang yang akan mati,” buka Cak Nun disambut tawa para peserta.

Opening yang puitis dan rendah hati ini justru membuat para hadirin benar-benar menyimak dan menunggu kata demi kata yang akan disampaikan Cak Nun. Tapi Cak Nun sangat mengerti psikologi para peserta yang sudah dua hari ini mengikuti tahapan-tahapan Raker yang membuat mereka capek, stres, dan lelah. Karena itu Cak Nun ingin tidak berpanjang-panjang kata, agar KiaiKanjeng bisa segera memulai nomor-nomornya.

Meskipun demikian, Cak Nun tetap secara ringkas mengungkapkan satu dua catatan. Bahwa yang berlangsung di Indonesia saat ini sukar-sukar banget. Semua terseret-seret, terjebak pada identitas, simbol, etnik, warna kulit, dan tidak ada yang berpatokan pada apa yang menjadi produk dari perilaku manusia, sehingga tidak karu-karuan situasinya. Kenyataan ini seharusnya membuat semua ingat bahwa apa-apa yang kita dukung-dukung mungkin itu yang akan mencelakakan kita, dan sebaliknya yang kita tolak-tolak itu malah mungkin akan sangat menolong.

Cak Nun mengapresiasi metode rapat di Raker ini. “Saya senang sekali dengan metode rapatnya, karena pemerintah sebenarnya bukan atasannya rakyat. Mindset kita seharusnya memang bukan atas-bawah, tapi depan-belakang. Banyak sekali dalam hidup ini yang seperti itu prinsip dan konteksnya. Khalifatullah itu artinya manusia yang berada di belakang Tuhan. Pak Enggar sebagai pemimpin pun juga kadang di depan kadang di belakang. Filosofi Ki Hadjar Dewantara Ing Ngarso Sung Tulodho, Ing Madyo Mangun Karso, Tut Wuri Handayani itu juga konteksnya depan-belakang, bukan atas-bawah. Rapat ini ala Piagam Madinah di mana kesepakatan-kesepakatan dirumuskan bukan oleh kaum intelektual, melainkan oleh para pelaku komunitas dan perdagangan.”

Sedikit ihwal perdagangan ini, Cak Nun mengintroduksi dan mengatakan, “Pak Enggar ini lulus dalam konteks empat terminologi ini. Yaitu Mihnah yang di dalamnya berisi tiga terminologi lainnya: Ziro’ah, Shina’ah, dan Tijaroh. Saya tidak akan jelaskan apa itu semua, biar tidak tahu dulu, nanti toh akan paham-paham sendiri,” ujar Cak Nun menggoda, tapi ini justru jadi jurus yang bagus di mana Beliau tak ingin menguraikan yang barangkali malah bisa terseret ke menggurui atau menceramahi. Sebaliknya, mereka dibuat penasaran terlebih dahulu.Bingung Memilih Kostum dan Terlanjur Pancasila. Foto: Adin.

Hal penting lain, tapi disampaikan secara out of box thinking oleh Cak Nun adalah bahwa kita ini terlanjur Pancasila. Kalau mengikut Pancasila, Tuhan adalah owner atau pemilik segala sesuatu, sehingga hitung-hitungan kita pun beda dalam melihat segala sesuatu. Primer-sekundernya berubah dari yang selama ini kita gunakan. “Gara-gara” Tuhanlah dalam sila pertama Pancasila, maka ada konsep adil dan beradab pada sila kedua. Lalu Cak Nun sekilas menguraikan bahwa sila-sila itu adalah urutan saling menyebabkan dengan sebab utama dan pertama adalah Tuhan dalam sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Artinya, kalau keyakinan dalam bersila pertama tidak benar dan tidak sungguh-sungguh, maka tak akan mungkin sampai pada mampu mewujudkan sila kedua, dan begitu seterusnya. “Kayaknya akhir-akhir ini Tuhan malah jadi komoditas,” gelitik Cak Nun yang kemudian “memfetakompli” secara apik logika hadirin dengan mengungkapkan, “Karena sudah telanjur Pancasila, ya kita harus benar-benar bertanggung jawab dan sungguh-sungguh dengan Pancasila.”

Memperkenalkan KiaiKanjeng, Cak Nun mengatakan bahwa ini adalah pergelaran ke 3979 dari kelompok yang aslinya tak punya nama, sebab KiaiKanjeng adalah nama gamelan yang digubah dan dipakai mereka. Sejak Pak Harto turun, Cak Nun dan KiaiKanjeng lebih banyak menemani masyarakat di desa-desa atau kampung-kampung dan menjauh dari hiruk-pikuk Indonesia. “Maka saya diundang ke sini ini bingung luar biasa yaitu bingung mau pakai baju apa. Kalau kotak-kotak nanti dikira Pro Ahok, kalau baju putih-putih nanti dikira Pro Habib. Akhirnya saya pakai baju seperti ini. Hem panjang biru muda dan bergaris-garis tipis. Jadi, saya memilih baju ini merupakan keputusan politik yang penuh pertimbangan,” papar Cak Nun yang langsung direspons tepuk tangan oleh hadirin karena menangkap muatan yang dimaksud Cak Nun.
Pesona Kelompok Musik dari Desa

Nomor pertama yang dihadirkan KiaiKanjeng adalah lagu yang oleh Cak Nun diperkenalkan sebagai lagu dari desa, tetapi yang muncul di depan Bapak-bapak dan Ibu-ibu itu adalah Doni yang membawakan One More Night Maroon Five sehingga membuat mereka tak menyangka. Hal yang unik dalam memperkenalkan seperti apa karakter, musikalitas, ideologi keluasan KiaiKanjeng.

Para peserta Raker ini terdiri atas eselon 1, 2, dan 3 Kemendag RI, perwakilan Pemkab-Pemkab, perwakilan perdagangan dari Luar Negeri, dan tamu undangan lain. Untuk mengikuti dan menikmati KiaiKanjeng ini, panitia mengubah tata duduk peserta, dari yang semula jajaran dan barisan kursi yang formal menjadi meja-meja bundar, sehingga lebih enak dan rileks. Saat Doni menembang nomor pembuka ini, semua hadirin pelan-pelan masuk dan ikut serta bernanyi setiap kali mic diarahkan kepada mereka.

Persembahan KiaiKanjeng dan Ibu Novia Kolopaking memang memukau para peserta. Bahkan tak kurang, chef atau juru masak di ruang makan ballroom Hotel Borobudur itu, dengan baju putih dan topi koki, berlari dari ruang sebelah untuk ikut menikmati musik-musik KiaiKanjeng saat kali pertama gamelan dan alat-alat musik lainnya itu berbunyi.Pesona Kelompok Musik dari Desa. Foto: Adin.

Dalam kesempatan ini, Ibu Novia Kolopaking menghadirkan dua buah nomor lagu yaitu Sepinya Hati Garuda (lagu yang merupakan bagian dari naskah dan pementasan Tikungan Iblis) dan Kalimah (dari Majda Rumi penyanyi Kristen dari Lebanon). Dua nomor Bu Via ini terasa sangat pas, cocok, dan tampak sekali mendapatkan respons dari hadirin. Mengantarkan lagu Kalimah, Pak Enggar dan hadirin diajak mengenal bahwa KiaiKanjeng yang dari desa ini pernah mendapatkan undangan tur di delapan kota di Belanda bertemu kelompok masyarakat Kristen, Yahudi, dan Muslim pada 2008.

Khusus nomor komposisi One More Night-Maroon Five kali ini tidak disertai segmen Jamuran yang biasanya dibintangi oleh Mas Jijid, tetapi tetap ada lagu Cublak-cublak Suweng dan Gundul-Gundul Pacul sebagaimana biasa. Jamuran tidak mungkin dilakukan karena karakter acara tidak memungkinkan. Apalagi Jamur Kethek Menek. Mau menek di mana pula, sedang panggung KiaiKanjeng di situ sangat beda dari biasanya. Tak ada tiang panggung yang biasa buat memanjat. Dan sebenarnya panggung ini terlalu mewah buat KiaiKanjeng. Lantainya bukan karpet seperti biasanya, tapi acrylic yang licin dan berwarna putih terang. Sehingga sangat pakewuh, kalau kemewahan itu dibuat ekspresi-ekspresi ala Jamuran. “Apalagi jamur kendhil borot, kak,” ujar Doni usai acara.
Mendekatlah ke Punakawan

Setiap peralihan lagu KiaiKanjeng, Cak Nun kembali bergerak ke podium yang berada di bawah dan terletak di depan sisi kanan panggung untuk merespons, menyambungkan lagu dengan gagasan yang dikandung, serta tentu memberikan proyeksi kepada keadaan-keadaan yang terjadi di Indonesia hari-hari ini.Pejabat eselon dan peserta Raker menyimak dan mengapresiasi Cak Nun, Mbak Via, dan KiaiKanjeng. Foto: Adin.

Menteri Enggar adalah seorang Cina. Dan tentang hal ini, Cak Nun menerangkan, ada dua jenis orang Cina, yaitu Cina Benteng dan Cina Toko. Cina Benteng adalah orang-orang Cina yang telah menyatukan dirinya dengan Indonesia dan memiliki kecintaan dan nasionalisme kepada tanah air Indonesia. Sedangkan Cina Toko adalah orang-orang Cina yang entah berada di manapun termasuk di Indonesia konsentrasi utamanya mencari laba. Jadi persoalan utamanya adalah nasionalisme versus keserakahan. Tak ada hubungannya dengan etnis, agama, atau warna kulit. Karenanya hal itu juga bisa terjadi pada pribumi sekaligus. Di depan Menteri Enggar dan para peserta yang tugas utamanya mendampingi para pengusaha ini, Cak Nun mengajak semuanya untuk tidak rakus, tidak serakah, dan tidak usah mengalahkan siapapun. Tidak ada mengalahkan orang lain, yang ada adalah mengalahkan diri sendiri.

Sejurus dengan itu, Cak Nun mengingatkan agar di dalam menjalankan pembangunan, kita tidak menghabiskan semua anugerah kekayaan yang dimiliki alam dan bangsa Indonesia. “Kita adalah infrastruktur anak cucu kita….,” tegas Cak Nun. Lebih jauh lagi, Cak Nun menyampaikan bahwa waktu Pak Enggar tidak banyak untuk melakukan langkah-langkah yang tepat bagi masa depan Indonesia. Seluruh reformasi dan hal-hal baik yang sudah dilakukan di Kemendag ini harusnya dicatat dan dinaikkan oleh lembaga negara menjadi undang-undang, sehingga nanti kalau Pak Enggar sudah tidak menjabat Menteri tetap aturan itu dilaksanakan oleh menteri selanjutnya. “Tiga hingga sepuluh tahun ke depan adalah gerbang bagi bangsa Indonesia untuk melesat ke kesesatan atau ke masa depan yang lebih baik,” ungkap Cak Nun menandaskan.

Sampai titik ini, Cak Nun telah menorehkan beberapa butir pangeling akan keadaan Indonesia dan apa-apa yang perlu dilakukan. Diskontinuitas kepemimpinan, saling berjalan sendiri-sendirinya setiap elemen atau golongan masyarakat, belum adanya pemilahan antara negara dan pemerintah, dan belum sinergisnya antar kementerian di Indonesia maupun di antara kelompok-kelompok masyarakat. Ziro’ah (Pertanian), Shina’ah (teknologi), dan Tijaroh (Perdagangan) adalah tiga terminologi dan konsep yang dapat dipakai untuk melihat Indonesia. Alih-alih sinergi, yang terjadi misalnya adalah pertanian dimakan oleh tijaroh. “Kementerian tijaroh harus sinergis dengan kementerian ziroah dan shina’ah,”pesan Cak Nun.

Satu hal yang dipesankan Cak Nun beyond mainstream pemikiran politik modern di Indonesia, untuk menjawab persoalan Indonesia saat ini, berlangsungnya negara, pemerintahan, dan berbagai ekspresi masyarakat hendaknya tidak melupakan orang-orang tua dan selalu meminta pertimbangan mereka. Yakni orang-orang tua kebangsaan yang mereka memiliki wawasan, pengetahuan, dan kebijaksanaan akan masa lalu dan masa depan. Merekalah para Punakawan yang kawruhnya sangat diperlukan. Saat ini yang bergulir adalah setiap kelompok berjalan sendiri serta membela kepentingan masing-masing, bagaikan anak-anak di sebuah rumah yang tanpa orangtua.Pengelola negara harus mendekat ke Punakawan bangsa ini. Foto: Adin.

Pukul 22.30 acara telah tiba di penghujung waktunya. Menutup acara ini, MC mempersilakan masing-masing hadirin bersalaman, dan diiringi dengan lantunan shalawat Badar yang memang telah diminta oleh panitia agar tercipta atmoafer yang positif. Selepas itu, Cak Nun dan Bu Via menerima jabat tangan dan berfoto bersama. Sementara, terlihat Pak Enggar senang, puas, dan berterima kasih. Sebelum pulang, Pak Enggar mencari Cak Nun yang saat itu sudah pindah ke belakang panggung untuk pamitan dan juga menyalami beberapa personel KiaiKanjeng dan mengucapkan terima kasih. (Helmi Mustofa)

Romeltea Media
Berbagi Informasi Updated at:

Be the first to reply!

Posting Komentar

 
back to top