YANG KITA TIDAK SUKA BOLEH JADI BAIK BAGI KITA


Oleh : AHMAD FUAD EFFENDY ( Cak Fuad )
Boleh Jadi kalian tidak menyukai sesuatu, padahal ia amat baik bagi kalian, dan boleh Jadi kalian menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagi kalian; Allah mengetahui, sedang kalian tidak mengetahui. (Al-Baqarah 216).
Ayat ini berkaitan dengan perintah perang. Allah Maha tahu bahwa perang itu berat dan karena itu dibenci atau tidak disukai. Namun dalam kehidupan manusia sepanjang sejarahnya, perang kadangkala tidak bisa dihindarkan. Oleh karena itu Allah membolehkan bahkan pada saat yang tidak bisa tidak, perang itu diperintahkan. Perang yang diperintahkan oleh Allah bukan untuk menghancurkan kehidupan manusia, sebaliknya untuk menjaga agar tidak terjadi kerusakan di atas bumi. Hal ini dinyatakan oleh Allah subhanahu wata’ala dalam firman-Nya dalam surat Al-Baqarah 251: “Seandainya Allah tidak menolak (keganasan) sebahagian umat manusia dengan sebagian yang lain, pasti rusaklah bumi ini. Tetapi Allah mempunyai karunia (yang dicurahkan) atas semesta alam”.
Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam dan pengikutnya selama 13 tahun di Mekah tidak diizinkan oleh Allah untuk berperang melawan kaum musyrikin. Baru pada tahun ke-2 setelah hijrah ke Madinah, mereka diizinkan bahkan diperintahkan berperang. Akan tetapi karena Allah Maha Tahu bahwa kebanyakan manusia tidak suka perang, maka Allah memberikan dorongan kepada kaum muslimin dengan mengatakan  “Boleh jadi kalian tidak menyukai sesuatu, padahal ia amat baik bagimu“. Dengan firman Allah ini, kaum muslimin dibimbing kepada perspektif baru di dalam memandang masalah, dan pada sisi lain mereka disadarkan akan keterbatasan manusia di dalam memahami hakekat sesuatu. Yang dikira baik bisa berujung keburukan, dan yang dipandang buruk bisa berujung kebaikan.
Kaidah Qur`ani ini bisa ditarik kepada kenyataan hidup manusia secara luas, termasuk dalam menyikapi apa yang kita percayai sebagai takdir. Diantara kita mungkin ada yang mengalami takdir yang buruk dan menyakitkan, sehingga dia kecewa, sedih, bahkan mungkin mengutuknya. Tapi ternyata takdir yang disangkanya buruk itu justru membawa kebaikan baginya di masa depan. Sebaliknya ada orang yang menginginkan sesuatu yang tampaknya baik, dan oleh karena itu dia berusaha mati-matian untuk mewujudkannya, tapi setelah dia berhasil mencapainya ternyata hal itu berujung kepada keburukan baginya.
Dua orang yang bersaing memperebutkan jabatan kepala daerah dalam pilkada, pasti masing-masing menginginkan kemenangan, karena kemenangan itulah yang dianggap baik baginya. Tapi benarkah kemenangan itu mesti baik dan kekalahan itu mesti buruk? Tidak mesti. Kaidah “boleh jadi” tetap berlaku. Berapa banyak pemenang pilkada justru berujung pada penjara, sedangkan yang kalah malah sukses di bidang yang ditekuninya. Dua orang sahabat yang baru lulus kuliah sama-sama mendaftar sebagai pegawai negeri. Yang seorang, satu kali tes langsung lulus menjadi pegawai negeri. Yang kedua, tiga kali tes tidak kunjung lulus, dan akhirnya dia putuskan untuk melakukan wirausaha. Apa yang terjadi sepuluh tahun kemudian? Yang menjadi pegawai negeri dengan pangkat III-D gajinya pas-pasan untuk menghidupi anak-istri dan membiayai sekolah anak-anaknya. Sementara yang gagal menjadi pegawai negeri dan “terpaksa” berwirausaha, penghasilannya melimpah-ruah. Banyak hal dalam kehidupan ini yang tidak kita pahami hakekatnya. Oleh karena itu apapun yang kita hadapi, yang tampak baik atau yang tampak buruk, harus diterima dengan ridha dan dengan husnuzhan kepada Allah.
Kaidah “boleh jadi” dari Al-Qur`an ini juga bisa kita terapkan  dalam menghadapi musibah, cobaan atau ujian dari Allah. Ujian itu bisa berupa kesenangan atau kesusahan, berupa sesuatu yang kita anggap baik dan sesuatu yang kita anggap buruk. Peristiwa sejarah yang dialami oleh para tokoh di masa lalu bisa menjadi pelajaran bagi kita. Fir’aun yang diuji dengan kekuasaan yang sangat besar dan Qarun yang diuji dengan kekayaan yang sangat banyak, justru jatuh dalam kehinaan. Sementara Musa yang dimasukkan dalam kotak dan dilarung di sungai Nil untuk menghindari pembantaian massal bayi oleh Raja Fir’aun, justru membawanya ke istana, menjadi anak asuh permaisuri raja, menjadi pemuda perkasa yang akhirnya menenggelamkan Raja Fir’aun dan prajuritnya. Demikian juga Yusuf, yang dibuang oleh kakak-kakaknya ke dalam sumur, kemudian memilih masuk penjara dari pada meladeni rayuan ibu angkatnya yang muda dan cantik jelita, pada akhirnya diangkat menjadi pembesar di Mesir yang kemudian mengentaskan saudara-saudaranya dari kemiskinan.
Dalam hidup ini, kita pun tidak lepas dari cobaan dan ujian. Ketika ujian itu berupa kesenangan dunia, kita sering lupa bersyukur. Ketika ujian itu berupa kesusahan, kita sering tidak sabar. Padahal ujian kesusahan itu boleh jadi jalan yang harus kita tempuh untuk mencapai kebaikan yang Allah sudah takdirkan untuk kita. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam berdabda: (Sesungguhnya seorang hamba yang telah ditetapkan baginya suatu kedudukan tapi dia tidak bisa mencapai kedudukan itu dengan amal dan usahanya, maka Allah memberinya cobaan pada badannya, atau hartanya atau anaknya, kemudian Allah memberinya kesabaran menghadapi cobaan itu, sampai dia mencapai kedudukan yang sudah ditetapkan oleh Allah ‘azza wa jalla).
Ujian yang dihadapi oleh umat Islam akhir-akhir ini, seperti yang terjadi di Suriah dalam bentuk perang saudara yang tak berkesudahan dan menyebabkan kematian dan pengungsian jutaan orang ke negeri-negeri lain; juga ujian yang dihadapi oleh umat Islam Indonesia berupa peminggiran, penistaan, pelecehan, perpecahan dan lain sebagainya; boleh jadi juga merupakan ujian yang harus dihadapi untuk mencapai kenaikan pangkat yang sudah dirancang oleh Allah subhanahu wata’ala. Maka hendaklah kita semua menghadapinya dengan ridha, sabar, tetap berikhtiar dengan mengedepankan akal sehat, tidak dengan amarah dan memperturutkan hawa nafsu.

Romeltea Media
Berbagi Informasi Updated at:

Be the first to reply!

Posting Komentar

 
back to top